Selasa, 26 April 2011

Repelita

Sebelum Orde Baru, yaitu antara tahun '60 sampai dengan tahun '65, pembangunan kalaupun ada, berjalan tersendat-sendat. Kondisi politik dalam negeri yang labil telah menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Hasil-Hasil Pembangunan Nasional
Pada tahun 1965, perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram. Persediaan beras sangat tipis dan pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengimpor beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga-harga membubung tinggi, yang tercermin dari laju inflasi yang mencapai puncaknya sebesar 650 persen di tahun 1966. Keadaan politik tidak menentu dan terus menerus bergejolak hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI. Sejak Oktober 1966 pemerintah Orde Baru melakukan penataan kembali kehidupan bangsa di segala bidang, meletakkan dasar-dasar untuk kehidupan nasional yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan hukum. Di bidang ekonomi, upaya perbaikan dimulai dengan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Program ini dilaksanakan dengan skala prio ritas: (1) pengendalian inflasi, (2) pencukupan kebutuhan pangan, (3) rehabilitasi prasarana ekonomi, (4) peningkatan ekspor, dan (5) pencukupan kebutuhan sandang.
Setelah itu upaya pembangunan yang sistematis mulai dilaksanakan melalui serangkaian pembangunan lima tahunan dan berjangka dua puluh lima tahun berdasarkan arahan-arahan GBHN. Repelita I dalam PJP I dimulai pada tahun 1969/70. Agar pencapaian sasaran pembangunan dapat terwujud secara optimal dan sesuai dengan yang digariskan, maka sasaran-sasaran pembangunan dipilah dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan. Seluruh kebijaksanaan dirancang dan dilaksanakan dalam kerangka Trilogi Pembangunan.
Melalui pelaksanaan pembangunan yang sistematis, berencana, bertahap dan konsisten, berbagai sasaran pembangunan telah dicapai tidak saja di bidang ekonomi tapi juga di semua bidang pembangunan lainnya seperti bidang kesejahteraan rakyat dan pendidikan, agama, iptek, hukum, politik, dan hankam.
Bidang Ekonomi
Pada awal Repelita I, keadaan bangsa Indonesia sangat memprihatinkan. Indonesia termasuk salah satu negara termiskin di dunia dengan pendapatan per kapita hanya sekitar US$ 70. Laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi yaitu antara 2 - 3 persen sedangkan laju pertumbuhan ekonomi semakin menurun. Jumlah penduduk miskin cukup besar, pada awal Repelita I mencapai 70 juta orang atau 60 persen dari seluruh penduduk. Selama PJP I, laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6,8 persen dengan laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan rata-rata di bawah 2 persen per tahun, sehingga pendapatan per kapita meningkat lebih dari 11 kali (dinyatakan dalam US$ pada harga yang berlaku) menjadi di atas US$ 800.
Dalam 27 tahun terakhir ini sebanyak 8 kali perekonomian Indonesia tumbuh lebih dari 8 persen. Dalam PJP I, jumlah penduduk miskin telah berkurang menjadi 25,9 juta orang atau 13,7 persen dari seluruh penduduk. Upaya penanggulangan kemiskinan ini telah dilanjutkan dan ditingkatkan antara lain dengan tambahan program khusus seperti IDT dan sekarang dengan program Takesra/Kukesra.
Dalam dua tahun Repelita VI, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen dalam tahun 1994 dan 8,1 persen dalam tahun 1995. Pertumbuhan itu telah melampaui sasaran (baru) yang ditargetkan dalam Repelita VI yaitu sebesar 7,1 persen rata-rata per tahun. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,6 persen per tahun dan pertumbuhan ekonomi seperti di atas, pendapatan nasional nominal per kapita telah mencapai US$ 920 pada tahun 1994 dan US$ 1.023 pada tahun 1995.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat seperti tersebut di atas diperoleh terutama atas dukungan dari pertumbuhan sektor industri pengolahan. Selama PJP I pertumbuhan sektor industri pengolahan rata-rata mencapai sekitar 12 persen per tahun, sedangkan dalam Repelita VI yang ditargetkan rata-rata sebesar 10,2 persen per tahun pada dua tahun pertama Repelita VI telah berhasil dilampaui yaitu masing-masing sebesar 12,5 persen dan 11,1 persen dalam tahun 1994 dan 1995 sehingga dalam kurun waktu sepuluh tahun sektor industri pengolahan telah berlipat 7 kali.
Pertumbuhan ekonomi disertai dengan perubahan struktur ekonomi yang makin seimbang dan kukuh seperti tercermin pada struktur produksi, struktur penerimaan devisa, struktur penerimaan negara, dan struktur ketenagakerjaan. Pada awal PJP I, struktur produksi masih rentan dan didominasi oleh sektor pertanian. Pangsa sektor pertanian terhadap PDB hampir mencapai 50 persen sedangkan industri pengolahan di bawah 10 persen. Dalam tahun 1995, keseimbangan kedua sektor itu telah berubah yaitu pangsa sektor pertanian telah menurun menjadi 17,2 persen sedangkan pangsa sektor industri pengolahan meningkat menjadi 24,3 persen, sehingga tatanan perekonomian menjadi lebih kukuh. Peranan sektor migas yang pada dekade 70-an mendominasi ekspor dan penerimaan Negara mulai menurun sejak tahun 1981/82. Dalam tahun 1995/96, peran ekspor migas dalam total ekspor telah turun menjadi 22,0 persen dari puncaknya pada tahun 1982/83 sebesar 79,0 persen. Peran penerimaan negara yang berasal dari migas juga turun yaitu menjadi sebesar 20,8 persen, dari puncaknya pada tahun 1981/82 sebesar 70,6 persen. Struktur tenaga kerja juga telah mengalami perubahan dan menuju ke arah yang makin seimbang. Pada tahun 1971, pekerja yang bekerja di sektor pertanian, industri pengolahan, dan sektor lainnya adalah masing-masing 66,3 persen, 6,8 persen, dan 26,9 persen. Dalam tahun 1995, pekerja yang bekerja di sektor pertanian, industri, dan sektor lainnya telah berubah menjadi masing-masing 47,3 persen, 10,7 persen, dan 42,0 persen. (Angkatan kerja pada tahun 1971 berdadarkan usia penduduk di atas 10 tahun, dan pada tahun 1995 berdasarkan usia penduduk di atas 15 tahun).
Perubahan struktur yang menjadi semakin kuat dan seimbang tersebut tidak terlepas dari berkembangnya peranan sektor masyarakat dalam pembangunan, antara lain sebagai hasil berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilaksanakan sejak tahun 1980-an sampai dengan sekarang.
Berbagai kebijaksanaan tersebut telah mendorong peningkatan penanaman investasi swasta yang cukup tajam. Misalnya, nilai persetujuan yang berasal dari PMDN dan PMA dalam tahun 1995/1996 mencapai Rp 87,5 triliun dan US$ 39,7 miliar atau naik sekitar 1,4 kali lipat dan 4,1 kali lipat dalam nilai nominal dibanding awal tahun 90-an. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, konsumsi masyarakat juga meningkat yang salah satunya ditandai oleh laju peningkatan impor barang-barang konsumsi yakni sebesar 17,9 persen pada tahun 1994 dan 64,4 persen pada tahun 1995. Dengan meningkatnya investasi dan pengeluaran konsumsi secara tajam dalam dua tahun terakhir, defisit transaksi berjalan meningkat. Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,5 miliar pada tahun 1994/95 atau 2,0 persen dari PDB dan US$ 6,9 miliar pada tahun 1995/96 atau 3,4 persen dari PDB terutama didorong oleh penanaman modal (asing) langsung. Upaya untuk mengendalikan terus dilakukan, agar defisit tersebut tetap dalam batas-batas yang aman.
Laju inflasi meskipun dapat dipertahankan "single digit", selama dua tahun Repelita VI masih di atas rata-rata target Repelita VI (5 persen) yaitu sebesar 9,2 persen dan 8,4 persen dalam tahun 1994 dan 1995. Dalam tahun 1996 ini diharapkan laju inflasi dapat ditekan lagi sehingga tidak lebih dari 7 persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar