Jumat, 22 Oktober 2010

Kode Etik Akuntansi

DEFINISI ETIKA
Definisi etika sangat beragam, tergantung pada situasi (Cytron, 2005). Dalam beberapa konteks, etika sinonim dengan filofosi moral, yang mencoba menjawab pertanyaan teoritis mengenai sifat dan rasionalitas moral. Menurut Teori Etika Michael Davis (dikutip oleh Ashgate, 2002 dalam Cytron, 2005), etika didefinisikan sebagai
“those standards of conduct that everyone (at their rational best) wants everyone else to follow, even if that means that they have to follow too”.
Dalam kasus yang lain, etika berarti kode etik khusus yang diterapkan bagi para anggota profesi tertentu. Salah satu pengertian etika menurut Mappes (1988 dalam Huss et al., 1993) adalah
Ethics can be defined as “the philosophical study of morality, and, accordingly, morality is clearly identified as the characteristic subject matter of ethics”.
Dari berbagai definisi tersebut, ide utama tentang etika merupakan suatu “aturan main” tertentu yang mengatur perilaku dan seharusnya dipatuhi oleh para anggotanya.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Ponemon (1988) menyatakan bahwa pertimbangan etika merupakan suatu hal yang krusial bagi status profesionalisme akuntansi yang dipercayai banyak pihak sebagai “batu penjuru” dalam praktik akuntan publik. Organisasi profesi menyediakan suatu pedoman bagi para akuntan melalui strandar profesional agar dapat membantu dalam menghadapi suatu dilema etis.
Etika dalam Pendidikan Akuntansi
Etika membantu komunitas bisnis dengan memfasilitasi dan mendorong kepercayaan publik dengan produk dan jasanya. Dalam profesi akuntansi, tanggung jawab secara eksplisit dinyatakan dengan berbagai kode etik seperti yang diatur oleh AICPA. Prinsip pertama kode etik ini adalah
“in carrying out their responsibilities as professionals, members should exercise sensitive professional and moral judgement in all their activities (Clark, 2003).
Alasan utama mempunyai pedoman etika bagi akuntansi adalah untuk membantu dalam proses pembuatan keputusan, tahu yang benar dan bukan hanya yang legal. Kode etik diperlukan sebagai pedoman dalam menangani situasi etis secara efektif.
Pendidikan etika bagi mahasiswa akuntansi pada tingkat minimal adalah memperkenalkan mahasiswa akuntansi dengan kode etik yang mengatur perilaku akuntan. Selanjutnya menurut Loeb (1988 dalam Huss et al., 1993) materi-materi akuntansi harus berkaitan dengan isu-isu moral. Menurutnya tujuan pendidikan etika akuntansi adalah: (a) mengkaitkan pendidikan akuntansi dengan isu-isu moral; (b) pengakuan isu-isu dalam akuntansi yang mempunyai implikasi etis; (c) mengembangkan perasaan kewajiban moral atau pertanggungjawaban; (d) mengembangkan kemampuan individu menghadapi dilema etis atau konflik etika; (e) belajar menyesuaikan dengan ketidakpastian yang dihadapi profesi akuntansi; (f) adanya perubahan dalam perilaku etika; dan (g) mengapresiasi dan memahami sejarah serta komposisi semua aspek etika akuntansi dan hubungannya dengan bidang umum etika
Bok (1976 dalam Huss et al., 1993) menyatakan bahwa ketidakmampuan individu untuk mengidentifikasi dilema etika merupakan alasan mengapa seorang individu tidak bermoral. Dengan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendiskuskan situasi etis yang dihadapi oleh para profesional akan membuat mahasiswa menjadi lebih siap untuk mengidentifkasi keadaaan sulit terkait dengan etika. Setelah mengidentifikasi dilema etis, mahasiswa dapatmenentukan bagaimana cara merespon dan menyelesaikannya. Penyelesaian dilema etis didasarkan pada ide-ide moral individu.
Selanjutnya Cytron (2005) menambahkan materi etika yang sebaiknya dicantumkan kedalam kurikulum akuntansi berupa:
(a) sifat etika;
 (b) perbedaan pendekatan etika berbasis aturan vs berbasis prinsip;
(c) kepatuhan dengan prinsip-prinsip fundamental etika seperti integritas, objektifitas, komitmen untuk kompetensi profesional, dan sifat kehati-hatian/due care dan kerahasiaan/confidentiality;
 (d) perilaku profesional dan kepatuhan dengan standar teknis dan hukum;
(e) berbagai konsep seperti independensi, skeptisisme, konfik kepentingan, akuntablitas dan ekspektasi publik;
(f) tanggung jawab sosial;
(g) sifat tanggung jawab profesional;
(h) dilema etis dan konsekuensi perilaku tidak etis terhadap individu, profesi dan sosial; dan
 (i) pengaturan korporasi dan kepentingan publik
Loeb (1988), Huss dan Patterson (1993) (dalam Richarson, 2004) menyatakan ada 5 tujuan yang dipertimbangkan dalam pendidikan etika akuntansi bila dikaitkan dengan independensi, yakni (1) menstimulasi imajinasi mahasiwa terhadap isu-isu independensi; (2) membantu mahasiswa dalam mengenali isu-isu independensi; (3) memperoleh rasa tanggung jawab personal dalam diri mahasiswa tentang independensi; (4) mengembangkan keahlian analitis mahasiwa agar dapat mengevaluasi isu-isu independensi; dan (5) mengajari mahasiwa supaya dapat bertoleransi dengan yang pihak yang tidak setuju dan ambiguitas independensi.
Salah satu cara untuk mengajarkan etika pada mahasiswa akuntansi adalah dengan menggunakan pendekatan modular (Mantzke et al., 2005) seperti yang telah dilakukan oleh program Master of Accounting Science di Northern Illinois University. Model ini memberikan bekal pada para mahasiswa akuntansi untuk dapat mengembangkan strategi dan membuat keputusan bisnis yang solid yang didasarkan pada akumulasi pengetahuan akuntansi dan pemahaman terhadap isu-isu bisnis yang relevan. Tujuan modul adalah
(1) meningkatkan kepedulian mahasiswa terhadap standar yang mengatur profesi akuntansi, dan
(2) mahasiswa mempunyai kesempatan untuk menerapkan framework dalam mengevaluasi dilema etis.
 Modul tersebut dapat membantu mahasiswa agar dapat mengembangkan berbagai keahlian dan kompetensi dalam hal:
 (a) keahlian komunikasi tertulis dengan membuat paper;
(b) keahlian berkomunikasi verbal dengan teknik presentasi;
(c) keahlian bernegosiasi dengan pengembangan kontrak grup;
(d) keahlian mengevaluasi dengan cara mengkritisi pekerjaan yang lain;
(e) keahlian berinteraksi kelompok dengan cara melakukan koordinasi berbagai tanggung jawab yang berbeda;
(f) keahlian problem-solving dengan cara menentukan solusi yang dapat diterapkan; dan (g) keahlian melakukan penelitian dalam hal menemukan kode etik yang memadai untuk kasus-kasus dilema etis.
Dengan demikian para mahasiswa dapat memperoleh manfaat seperti, mahasiswa menjadi lebih kaya dalam pengalaman dan dapat membuat pendekatan yang lebih relialistis jika dihadapkan pada situasi dilema etis dalam lingkungan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar